Perjalanan
bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini
tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Hal ini karena masih
banyaknya pihak – pihak yang memandang salah tentang peran bimbingan dan
konseling di sekolah. Kekeliruan ini tampaknya tidak hanya terjadi di kalangan
orang – orang yang berada di luar lingkungan bimbingan dan konseling tetapi
juga banyak di dikalangan orang – orang yang terlibat langsung dengan bimbingan
dan konseling.
Siswa,
guru, orang tua/wali murid dan warga masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui dan memahami peran dan fungsi BK di sekolah. Bahkan selama ini ada yang
menafsirkan Bimbingan dan Konseling adalah tempat menyelesaikan masalah, tempat
pemberian hukuman, tempat guru mapel mengirimkan peserta didik yang malas
mengerjakan tugas, tempat pemberian point – point pelanggaran, tempat yang
menyeramkan dan menakutkan. Fakta dilapangan keberadaan Bimbingan dan Konseling
di sekolah identik dengan masalah yang dihadapi peserta didik. Banyak peserta
didik yang dianggap bermasalah tanpa diproses terlebih dahulu oleh guru yang
pertama kali mengetahui peserta didik tersebut melakukan kesalahan langsung di
arahkan ke guru BK. Sehingga guru BK dimata peserta didik tugasnya adalah
memberikan hukuman, peserta didik pun merasa tak nyaman berhubungan dengan guru
BK karena merasa malu dan takut di anggap bermasalah oleh teman – temannya.
Bahkan tak jarang peserta didik yang merasa takut melewati ruang BK atau
berkunjunjung ke ruang BK jika tidak mendapatkan panggilan.
Ada mekanisme proses
penanganan peserta didik yang kerap kali tidak dihiraukan karena dianggap tidak
perlu melakukan secara prosedural atau bahkan dianggap guru BK tidak ada
kerjaan jika tidak diberi pekerjaan. Namun justru penanganan seperti itu akan
semakin memperburuk citra guru BK dimata banyak pihak. Bahkan tidak akan pernah
ada seorang peserta didik yang datang ke ruang BK untuk membicarakan
permasalahannya dengan sukarela.
Seorang guru BK bukanlah
polisi sekolah,tapi guru BK menjadi salah satu bagian dari orang yang mendukung adanya penegakkan tata tertib di
sekolah jadi tidak seharusnya guru BK menjadi bagian dari tim tatib di sekolah. Untuk merubah persepsi inilah
diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak khususnya guru mapel yang secara
langsung terlibat dengan guru BK untuk menciptakan kenyamanan dan keamanan bagi
peserta didik yang ingin berkonsultasi ke BK.
Anggapan – anggapan seperti
yang di uraikan diatas pada dasarnya adalah salah. Anggapan yang salah ini bisa saja di sebabkan
dari peserta didik karena mendapat informasi yang salah dari kakak kelasnya
atau mungkin juga dari guru mapel itu sendiri. Oleh karena itu anggapan seperti
ini perlu dibenarkan sebagaimana mestinya agar maksud, peran, fungsi dan tujuan
bisa terealisasi secara optimal.
Beberapa
hal yang telah dijelaskan tersebut mungkin akan lebih baik jika bisa diatasi.
Ada poin-poin penting yang bisa membantu menyelaraskan antara guru mapel,
peserta didik dan guru BK agar anggapan yang salah ini bisa dibenarkan, yakni
sebagai berikut:
1. Bukan hanya peserta didik yang
bermasalah saja yang datang atau didatangkan kepada BK. Bimbingan
Konseling ini bukan bengkel bagi peserta didik yang ‘rusak’. Konseling juga
membantu menyelesaikan masalah-masalah lain peserta didik seperti masalah
hubungan dengan teman, hubungan dengan guru yang lain, hingga masalah pribadi
yang menghambat lancarnya proses pembelajaran di sekolah.
Hartono
dan Soedarmadji (2012) mengemukakan ada lima fungsi konseling yaitu : a.fungsi
pemahaman; b.fungsi pencegahan; c.fungsi pengentasan; d.fungsi pemeliharaan;
e.fungsi advokasi. Seharusnya kelima fungsi tersebut bisa dijalankan secara
maksimal sehingga fungsi Bimbingan Konseling di sekolah sesuai dengan fungsi
pokok konseling. Dengan itu, proses konseling bisa merata pada seluruh peserta
didik .
2. Anggapan bahwa guru BK itu adalah
momok, tukang hukum, musuhnya peserta didik nakal, dan sebagainya merupakan
anggapan yang kurang benar. Peserta didik perlu memahami bahwa seorang guru BK
itu adalah orang yang membantu peserta didik untuk mengatasi masalah-masalah peserta
didik, dari yang sederhana hingga yang serius atau komplek. Peserta didik yang
tidak nakal pun bisa mengunjungi guru BK untuk sekedar bercerita tentang
masalah psikologis apa pun yang dihadapinya. Guru BK juga bisa membantu
menangani masalah seorang peserta didik yang walaupun keilhatannya biasa saja
namun menjadikannya terhambat seperti masalah kebiasaan belajar hingga larut
malam, atau bahkan ia bermasalah dengan keluarganya dan hal itu mengganggu
proses pembelajaran di sekolah. Guru BK selalu siap untuk membantu peserta
didik menangani masalah psikologis yang dihadapi.
3. Pemahaman yang tepat
mengenai makna Bimbingan Konseling di sekolah. Seperti yang telah
disampaikan pada poin sebelumnya bahawa guru BK siap untuk membantu menangani
masalah psikologis yang dihadapi peserta didik. Proses konseling di sekolah
pada intinya adalah membantu menangani masalah psikologis peserta didik.
Masalah psikologis yang dimaksud ialah segala hal yang menjadikan kondisi
mental peserta didik tidak tenang seperti trauma, stress, konflik, frustasi
hingga depresi. Kenakalan peserta didik tentunya menjadi objek konseling guru
BK. Kenakalan peserta didik bisa saja terjadi disebabkan oleh beberapa hal
tersebut dari berbagai latar belakang yang berbeda. Maka perlu pemahaman yang
tepat mengenai makna Bimbingan Konseling di sekolah agar peserta didik bisa
mendapat bantuan dalam menangani masalah psikologisnya dan proses pembelajaran
di sekolah bisa berjalan maksimal.
4. Memberikan penampilan yang
menarik, sesuai dan sebisa mungkin untuk familiar dengan peserta didik dan
guru. Seorang guru BK adalah guru yang selayakanya bisa berinteraksi dengan peserta
didik maupun guru dan karyawan di sekolah. Lebih baik jika seorang guru BK itu
komunikatif dan interaktif, aktif berinteraksi dengan peserta didik. Karena hal
itu bisa menjadikan anggapan negatif terhadap guru BK berkurang. Seorang guru
BK seharusnya tidak terlalu membatasi hubungan antara guru dan peserta didik.
Guru sebagai penerima aspirasi peserta didik dan peserta didik berhak
menyampaikan aspirasinya. Peserta didik juga berhak menceritakan
masalah-masalah yang menghambat proses pembelajarannya di sekolah, sehingga
guru mengerti mengapa peserta didik mengalami masalah dan apa yang menyebabkan
masalah itu di sekolah. Jika guru BK lebih familiar, komunikatif, dan aktif
berinteraksi dengan peserta didik maka proses konseling bisa maksimal dan
berjalan lancar.
5. Publikasi tentang Bimbingan
Konseling kepada peserta didik sejak awal dan publikasi rutin untuk tetap
menyampaikan program-program BK. Publikasi yang dimaksud ialah pemberitahuan
atau sosialisasi kepada peserta didik terkait program Bimbingan Konseling di sekolah.
Publikasi atau sosialisasi ini tidak cukup hanya dilakukan di awal tahun atau
awal masuk sekolah. Ada baiknya jika penjelasan dan sosialisai program BK
dilaksanakan setiap tiga bulan sekali, atau mungkin sebulan sekali. Bahkan
dalam Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Menengah Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling
dialokasikan jam masuk kelas selama 2 ( dua ) jam pembelajaran per minggu
setiap kelas secara rutin terjadwal..
Hal
litu ditujukan untuk memaksimalkan efektifitas konseling Bimbingan Konseling di
sekolah. Jika publikasi berjalan maksimal, maka peserta didik akan dengan mudah
memahami tentang BK di sekolah dan tidak akan merasa BK adalah momok dan
sebagainya. Mereka akan mulai akrab dengan Bimbingan Konseling.
Jika
beberapa hal yang telah dijelaskan dapat dilaksanakan dengan maksimal, maka
anggapan negatif atau anggapan salah yang perlu dibenarkan bisa terealisasi dan
Bimbingan Konseling di sekolah bisa maksimal, efektif, dan merata terhadap
semua kalangan peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar